Sastra Jawa termasuk jenis sastra yang tua yang berlangsung dalam kurun waktu ratusan tahun. Sastra Jawa Kuna diperkirakan berkembang mulai abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Hindu dengan karya-karya besar seperti Ramayana dan Mahabarata. Relief Ramayana dari masa ini juga dipahatkan dengan indah di Candi Prambanan. Sastra Jawa Kuna berlangsung sampai dengan masa kejayaan Majapahit. Jenis sastra yang muncul didominasi karya kakawin.
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis baik dalam bentuk gancaran maupun kakawin. Karya-karya ini mencakup genre seperti :
• Sajak wiracarita
• Undang-undang hukum
• Kronik (babad)
• Kitab-kitab keagamaan
Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini diantaranya adalah:
• Candakarana
• Kakawin Ramayana
• Terjemahan Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel colin makenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Tradisi Penurunan
Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah prasasti terdapat pada puncak Siwagreha dari tahun 856 Masehi.
Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang verasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-II.
Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.
Bahasa Jawa Kuna antara lain memiliki ciri-ciri kebahasaan sebagai berikut, yaitu:
1. Sudah mendapat pengaruh bahasa Sansekerta, terutama dalam karya sastra yang muncul pada waktu itu, karena para pujangga disamping penganut Hindu atau Budha. Sumber-sumber bacaan dan ajarannya berasal dari kedua agama tersebut yang menggunakan bahasa Sansekerta.
2. Belum mengenal bahasa Arab dalam karya sastranya, karena para pujangga banyak yang menganut agama Hindu atau Budha.
3. Karya sastra yang muncul dibagi menjadi dua, yaitu: (a) karya sastra jawa Kuna yang tua sepertiCaoiakaroa sampai dengan Lubdhaka meliputi 26 buku; dan (b) karya sastra Jawa Baru seperti Brahmaoiapuraoa kakawin sampai dengan Harieoeraya kakawin meliputi 10 buku.
4. Bentuknya: dua karya Jawa Kuna bagian (a) dan (b) tersebut berbentuk gancaran (prosa) dan kakawin (puisi) dengan kaidah kakawin Sansekerta).
5. Berkaitan dengan fonologi, morfologi dan kosa kata, ciri karya sastra Jawa Kuna (a) adanya bunyi (o) dan bunyi panjang pendek; karya sastra Jawa Kuna bagian (b) adanya bunyi panjang pendek.
Teks Jawa Kuna
Munisuta marma temen sira ri lara narendrasutangaca
Irika matangguh ujar t-adiwasa denta wimurcha dahat
Purih ikanang dadi duhkha gatinika mantangnyan ade hid.epen
Alih Bahasa
Putra sang pertama terharu atas rasa masygul sang pangeran yang besar
Lalu ia pun mengajarinya dan berkata: “Janganlah terlalu bersedih hati bapak”
Sebab duka memang bagian dari kehidupan oleh karena itu janganlah dipikirkan.
Faktanya orang Jawa adalah manusia dengan etos kerja tinggi. Hampir separuh lebih dari semua usia produktif di ibukota Jakarta, baik kalangan pekerja formal kelas atas hingga informal kelas bawah adalah didominasi orang Jawa. Bahkan wilayah jelajah kerja orang Jawa melebar hingga ke seluruh dunia (bisa disejajarkan sedikit di bawah orang Cina).
Di Suriname saja di mana komunitas orang Jawa menduduki peringkat ketiga setelah Belanda, punya hak untuk mempunyai Stasiun Televisi sendiri yang bernama Garuda TV. Itu semua membuktikan bahwa etos kerja orang Jawa sangatlah tinggi. Stereotif negatif itu tak lebih hanya cocok untuk kaum priyayi di masa lampau. Kinipun memang masih banyak priyayi (baca : PNS ) berbaju modern dengan etos kerja seperti priyayi di masa lampau. Bekerja santai dan tak ada target kerja ada daya saing yang pasti. Karena toh semua fasilitas dimanjakan oleh negara (Tunjangan, pensiun, dll).
Namun ingat masyarakat Jawa terbesar bekerja pada sektor Swasta, jadi tentu saja kesan itu sangat tidak cocok dengan sikon masyarakat sekarang ini. Jadi sebenarnya Sastra Jawa masa kini seharusnya sudah semestinya berbenah menyesuaikan jaman, jika masih ingin dilirik oleh masyarakat. Inilah tantangan bagi penulis atau sastrawan Jawa.
Sudah saatnya mereka kini mengangkat semua persoalan dunia sekarang ini. Bahkan dalam skala Global sekalipun. Minimnya jumlah pengarang Jawa mungkin saja bersumber dari persoalan itu. Tema yang diangkat masih seputar masalah klasik. Seperti budaya Keraton, budaya adiluhung, budaya pedesaan yang lugu, serta budaya-budaya seni yang kurang populer dan kurang up to date.
Bukannya survive dengan merubah genre, namun banyak penulis Sastra Jawa memilih survive dengan mengambil jalan pintas. Yaitu beralih menulis sastra Indonesia. Artinya mereka hanya merubah bahasa sastra dengan Bahasa Indonesia. Alsannya sederhana. Dengan bahasa Indonesia kalangan pembaca, penikmat, atau apresiator tentu lebih luas.
Meskipun faktanya masyarakat Jawa dan pengguna bahasa Jawa sendiri ada sekitar 80 juta orang sekarang ini. Sebuah komunitas yang tak bisa dianggap remeh atau terlalu dini jika menyebut tentang kepunahan bahasanya (Bahasa Jawa). Namun toh tetap saja lebih kuat opini bahwa dengan sastra berbahasa Indonesia, buku yang diproduksi tentu lebih ada jaminan laku di pasaran. Tentu saja jaminan kesejahteraan juga lebih lapang. Meskipun toh temanya juga sering kali tak jauh beda dengan tema ndesit ala sastra Jawa sebelumnya.
Daftar Pustaka:
Wakit Abdullah dan Sri Lestari Handayani. 2012. Bahasa Jawa Kuna: Sejarah, Struktur dan
Leksikonnya. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
Bani Sudardi. 2010. Sastra Nusantara: Deskripsi Aneka Kekayaan Sastra Nusantara. Surakarta:
BPSI.
http://bosojowosaiki.blogspot.co.id/