Minggu, 03 April 2016

SASTRA JAWA KUNA DAN GENERASI MUDA MASA KINI



Sastra Jawa termasuk jenis sastra yang tua yang berlangsung dalam kurun waktu ratusan tahun. Sastra Jawa Kuna diperkirakan berkembang mulai abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Hindu dengan karya-karya besar seperti Ramayana dan Mahabarata. Relief Ramayana dari masa ini juga dipahatkan dengan indah di Candi Prambanan. Sastra Jawa Kuna berlangsung sampai dengan masa kejayaan Majapahit. Jenis sastra yang muncul didominasi karya kakawin. 

Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis baik dalam bentuk gancaran maupun kakawin. Karya-karya ini mencakup genre seperti :
Sajak wiracarita
Undang-undang hukum
Kronik (babad)
Kitab-kitab keagamaan

           Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi  catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan. 
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini diantaranya adalah:
Candakarana
Kakawin Ramayana
Terjemahan Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno

Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.

Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel colin makenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.

Tradisi Penurunan

Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah prasasti terdapat pada puncak Siwagreha dari tahun 856 Masehi. 

Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang verasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-II.

Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.

Bahasa Jawa Kuna antara lain memiliki ciri-ciri kebahasaan sebagai berikut, yaitu:
1. Sudah mendapat pengaruh bahasa Sansekerta, terutama dalam karya sastra yang muncul pada waktu itu, karena para pujangga disamping penganut Hindu atau Budha. Sumber-sumber bacaan dan ajarannya berasal dari kedua agama tersebut yang menggunakan bahasa Sansekerta.
2. Belum mengenal bahasa Arab dalam karya sastranya, karena para pujangga banyak yang menganut agama Hindu atau Budha.
3. Karya sastra yang muncul dibagi menjadi dua, yaitu: (a) karya sastra jawa Kuna yang tua sepertiCaoiakaroa sampai dengan  Lubdhaka meliputi 26 buku; dan (b) karya sastra Jawa Baru seperti Brahmaoiapuraoa kakawin sampai dengan Harieoeraya kakawin meliputi 10 buku.
4. Bentuknya: dua karya Jawa Kuna bagian (a) dan (b) tersebut berbentuk gancaran (prosa) dan kakawin (puisi) dengan kaidah kakawin Sansekerta).
5. Berkaitan dengan fonologi, morfologi dan  kosa kata,  ciri karya sastra Jawa Kuna (a) adanya bunyi (o) dan bunyi panjang pendek; karya sastra Jawa Kuna bagian (b) adanya bunyi panjang pendek.

Teks Jawa Kuna

Munisuta marma temen sira ri lara narendrasutangaca
Irika matangguh ujar t-adiwasa denta wimurcha dahat 
Purih ikanang dadi duhkha gatinika mantangnyan ade hid.epen

Alih Bahasa

Putra sang pertama terharu atas rasa masygul sang pangeran yang besar
Lalu ia pun mengajarinya dan berkata: “Janganlah terlalu bersedih hati bapak”
Sebab duka memang bagian dari kehidupan oleh karena itu janganlah dipikirkan.



Faktanya orang Jawa adalah manusia dengan etos kerja tinggi. Hampir separuh lebih dari semua usia produktif di ibukota Jakarta, baik kalangan pekerja formal kelas atas hingga informal kelas bawah adalah didominasi orang Jawa. Bahkan wilayah jelajah kerja orang Jawa melebar hingga ke seluruh dunia (bisa disejajarkan sedikit di bawah orang Cina).

Di Suriname saja di mana komunitas orang Jawa menduduki peringkat ketiga setelah Belanda, punya hak untuk mempunyai Stasiun Televisi sendiri yang bernama Garuda TV. Itu semua membuktikan bahwa etos kerja orang Jawa sangatlah tinggi. Stereotif negatif itu tak lebih hanya cocok untuk kaum priyayi di masa lampau. Kinipun memang masih banyak priyayi (baca : PNS ) berbaju modern dengan etos kerja seperti priyayi di masa lampau. Bekerja santai dan tak ada target kerja ada daya saing yang pasti. Karena toh semua fasilitas dimanjakan oleh negara (Tunjangan, pensiun, dll).

Namun ingat masyarakat Jawa terbesar bekerja pada sektor Swasta, jadi tentu saja kesan itu sangat tidak cocok dengan sikon masyarakat sekarang ini. Jadi sebenarnya Sastra Jawa masa kini seharusnya sudah semestinya berbenah menyesuaikan jaman, jika masih ingin dilirik oleh masyarakat. Inilah tantangan bagi penulis atau sastrawan Jawa.

Sudah saatnya mereka kini mengangkat semua persoalan dunia sekarang ini. Bahkan dalam skala Global sekalipun. Minimnya jumlah pengarang Jawa mungkin saja bersumber dari persoalan itu. Tema yang diangkat masih seputar masalah klasik. Seperti budaya Keraton, budaya adiluhung, budaya pedesaan yang lugu, serta budaya-budaya seni yang kurang populer dan kurang up to date.

Bukannya survive dengan merubah genre, namun banyak penulis Sastra Jawa memilih survive dengan mengambil jalan pintas. Yaitu beralih menulis sastra Indonesia. Artinya mereka hanya merubah bahasa sastra dengan Bahasa Indonesia. Alsannya sederhana. Dengan bahasa Indonesia kalangan pembaca, penikmat, atau apresiator tentu lebih luas.

Meskipun faktanya masyarakat Jawa dan pengguna bahasa Jawa sendiri ada sekitar 80 juta orang sekarang ini. Sebuah komunitas yang tak bisa dianggap remeh atau terlalu dini jika menyebut tentang kepunahan bahasanya (Bahasa Jawa). Namun toh tetap saja lebih kuat opini bahwa dengan sastra berbahasa Indonesia, buku yang diproduksi tentu lebih ada jaminan laku di pasaran. Tentu saja jaminan kesejahteraan juga lebih lapang. Meskipun toh temanya juga sering kali tak jauh beda dengan tema ndesit ala sastra Jawa sebelumnya.

Daftar Pustaka:


Wakit Abdullah dan Sri Lestari Handayani. 2012. Bahasa Jawa Kuna: Sejarah, Struktur dan 

            Leksikonnya. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas               Maret. 

Bani Sudardi. 2010. Sastra Nusantara: Deskripsi Aneka Kekayaan Sastra Nusantara. Surakarta: 

            BPSI. 

http://bosojowosaiki.blogspot.co.id/


Minggu, 27 Maret 2016

Karya Lukis Kaca Loren Stump




Menurut saya pribadi, seni merupakan salah satu media yang bisa digunakan untuk menuangkan ide maupun gagasan dengan berbagai macam media. 

Tidak begitu banyak perempuan di Indonesia yang memutuskan untuk menggeluti profesi perupa sebagai pilihan hidupnya. Hal ini bisa saja disebabkan oleh anggapan masyarakat yang memandang bahwa perempuan berprofesi perupa kurang populer bila dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya, seperti pembantu rumah tangga di luar negeri (Tenaga Kerja Wanita/TKW), sekretaris, manajer perusahaan, aktris sinetron, atau yang populer melalui rekayasa media televisi: menjadi bintang penyanyi “Akademi Fantasi Indosiar (AFI)” atau “Indonesian Idol”. Penyebab lainnya bisa juga karena adanya kepercayaan di masyarakat mengenai bakat seni rupa yang dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi seseorang (perempuan maupun laki-laki) untuk menggeluti profesi perupa. Seperti halnya laki-laki, perempuan juga mempunyai minat dan bakat sebagai modal awal untuk menggeluti profesi seni rupa. Namun, menurut pematung Dolorosa Sinaga, minat dan bakat pada diri perempuan ini sering luntur ketika berhadapan dengan tantangan-tantangan dalam profesi seni rupa akibat dari wawasan berkesenian yang tampak belum kuat.[i] Boleh jadi penyebab lainnya adalah karena masih berlangsungnya pandangan stereotipe di sebagian besar masyarakat mengenai tugas-tugas perempuan yang diidentikkan dengan mengasuh anak, melayani kebutuhan suami, mengurus kebersihan rumah tangga, dan berbagai macam pekerjaan domestik lainnya yang dianggap sudah terberi sebagai tugas kodrati[ii] perempuan. Jika ada perempuan yang mencoba menggeluti pekerjaan lain di luar wilayah domestik, masyarakat lebih menilainya sebagai kegiatan ekstra dari tugas-tugas kodrati tadi.[iii]

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iiculyogya/melihat-perempuan-dalam-seni-rupa_54fffa03a33311bf6e50f844
Tidak begitu banyak perempuan di Indonesia yang memutuskan untuk menggeluti profesi perupa sebagai pilihan hidupnya. Hal ini bisa saja disebabkan oleh anggapan masyarakat yang memandang bahwa perempuan berprofesi perupa kurang populer bila dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya, seperti pembantu rumah tangga di luar negeri (Tenaga Kerja Wanita/TKW), sekretaris, manajer perusahaan, aktris sinetron, atau yang populer melalui rekayasa media televisi: menjadi bintang penyanyi “Akademi Fantasi Indosiar (AFI)” atau “Indonesian Idol”. Penyebab lainnya bisa juga karena adanya kepercayaan di masyarakat mengenai bakat seni rupa yang dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi seseorang (perempuan maupun laki-laki) untuk menggeluti profesi perupa. 

Seperti halnya laki-laki, perempuan juga mempunyai minat dan bakat sebagai modal awal untuk menggeluti profesi seni rupa. Namun, menurut pematung Dolorosa Sinaga, minat dan bakat pada diri perempuan ini sering luntur ketika berhadapan dengan tantangan-tantangan dalam profesi seni rupa akibat dari wawasan berkesenian yang tampak belum kuat. Boleh jadi penyebab lainnya adalah karena masih berlangsungnya pandangan stereotipe di sebagian besar masyarakat mengenai tugas-tugas perempuan yang diidentikkan dengan mengasuh anak, melayani kebutuhan suami, mengurus kebersihan rumah tangga, dan berbagai macam pekerjaan domestik lainnya yang dianggap sudah terberi sebagai tugas kodrati perempuan. Jika ada perempuan yang mencoba menggeluti pekerjaan lain di luar wilayah domestik, masyarakat lebih menilainya sebagai kegiatan ekstra dari tugas-tugas kodrati tadi. 

Tidak begitu banyak perempuan di Indonesia yang memutuskan untuk menggeluti profesi perupa sebagai pilihan hidupnya. Hal ini bisa saja disebabkan oleh anggapan masyarakat yang memandang bahwa perempuan berprofesi perupa kurang populer bila dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya, seperti pembantu rumah tangga di luar negeri (Tenaga Kerja Wanita/TKW), sekretaris, manajer perusahaan, aktris sinetron, atau yang populer melalui rekayasa media televisi: menjadi bintang penyanyi “Akademi Fantasi Indosiar (AFI)” atau “Indonesian Idol”. Penyebab lainnya bisa juga karena adanya kepercayaan di masyarakat mengenai bakat seni rupa yang dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi seseorang (perempuan maupun laki-laki) untuk menggeluti profesi perupa. Seperti halnya laki-laki, perempuan juga mempunyai minat dan bakat sebagai modal awal untuk menggeluti profesi seni rupa. Namun, menurut pematung Dolorosa Sinaga, minat dan bakat pada diri perempuan ini sering luntur ketika berhadapan dengan tantangan-tantangan dalam profesi seni rupa akibat dari wawasan berkesenian yang tampak belum kuat.[i] Boleh jadi penyebab lainnya adalah karena masih berlangsungnya pandangan stereotipe di sebagian besar masyarakat mengenai tugas-tugas perempuan yang diidentikkan dengan mengasuh anak, melayani kebutuhan suami, mengurus kebersihan rumah tangga, dan berbagai macam pekerjaan domestik lainnya yang dianggap sudah terberi sebagai tugas kodrati[ii] perempuan. Jika ada perempuan yang mencoba menggeluti pekerjaan lain di luar wilayah domestik, masyarakat lebih menilainya sebagai kegiatan ekstra dari tugas-tugas kodrati tadi.[iii]

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iiculyogya/melihat-perempuan-dalam-seni-rupa_54fffa03a33311bf6e50f844
Seni lukis adalah salah satu cabang dariseni rupa. Dengan dasar pengertian yang sama, seni lukis adalah sebuah pengembangan yang lebih utuh dari menggambar. Melukis adalah kegiatan mengolah medium dua dimensi atau permukaan dari objek tiga dimensi untuk mendapat kesan tertentu. Medium lukisan bisa berbentuk apa saja, seperti kanvas kertas papan, dan bahkan fotografi bisa dianggap sebagai media seni lukis. Alat yang digunakan juga bisa bermacam-macam, dengan syarat bisa memberikan tertentu kepada media yang digunakan.


Lukisan merupakan sebuah karya seni lukis yang dibuat dengan cara memulaskan cat menggunakan alat kuas lukis, pisau palet atau peralatan lain, pemulasan cat dengan berbagai warna dan nuansa gradasi warna, dengan kedalaman warna yang tertentu dan juga komposisi warna tertentu dari bahan warna pigmen warna dalam pelarut dan gen pengikat untuk pengencer air. Gen pengikat dapat berupa minyak linen untuk cat minyak dengan pengencer terpenthin pada permukaan datar seperti kertas, kanvas atau dinding. Hal ini dilakukan oleh seorang seniman pelukis dengan kedalaman warna dan dibarengi oleh cita rasa pelukis, definisi ini dapat digunakan terutama jika ia merupakan pencipta dari suatu karya seni lukis.
Seni lukis merupakan salah satu contoh seni rupa murni yang mengutamakan nilai estetika daripada nilai guna. Pada umumnya, sebuah karya seni lukis merupakan suatu gambaran atau ungkapan ekspresi dari seorang pelukis. Kebanyakan pelukis biasanya akan menemukan kepuasan tersendiri dengan karya yang ia hasilkan. Para seniman dapat secara bebas mengekspresikan diri dalam lukisan sehingga dihasilkan suatu karya yang memiliki nilai estetika yang tinggi. Bagi penikmat lukisan, sebuah karya lukisan adalah keindahan yang menimbulkan decak kagum sehingga tidak jarang para kolektor sanggup mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit hanya untuk memiliki lukisan yang mencuri perhatiannya. Oleh karena itu, meskipun tidak memperhatikan nilai guna, karya seni lukis merupakan salah satu karya seni yang memiliki nilai ekonomis tinggi

Sumber: http://bahanbelajarsekolah.blogspot.co.id/2015/01/jenis-aliran-atau-gaya-melukis.html
Content is Courtesy of bahanbelajarsekolah.blogspot.com
Seni lukis merupakan salah satu contoh seni rupa murni yang mengutamakan nilai estetika daripada nilai guna. Pada umumnya, sebuah karya seni lukis merupakan suatu gambaran atau ungkapan ekspresi dari seorang pelukis. Kebanyakan pelukis biasanya akan menemukan kepuasan tersendiri dengan karya yang ia hasilkan. Para seniman dapat secara bebas mengekspresikan diri dalam lukisan sehingga dihasilkan suatu karya yang memiliki nilai estetika yang tinggi. Bagi penikmat lukisan, sebuah karya lukisan adalah keindahan yang menimbulkan decak kagum sehingga tidak jarang para kolektor sanggup mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit hanya untuk memiliki lukisan yang mencuri perhatiannya. Oleh karena itu, meskipun tidak memperhatikan nilai guna, karya seni lukis merupakan salah satu karya seni yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Sumber: http://bahanbelajarsekolah.blogspot.co.id/2015/01/jenis-aliran-atau-gaya-melukis.html
Content is Courtesy of bahanbelajarsekolah.blogspot.com
Seni lukis merupakan salah satu contoh seni rupa murni yang mengutamakan nilai estetika daripada nilai guna. Pada umumnya, sebuah karya seni lukis merupakan suatu gambaran atau ungkapan ekspresi dari seorang pelukis. Kebanyakan pelukis biasanya akan menemukan kepuasan tersendiri dengan karya yang ia hasilkan. Para seniman dapat secara bebas mengekspresikan diri dalam lukisan sehingga dihasilkan suatu karya yang memiliki nilai estetika yang tinggi. Bagi penikmat lukisan, sebuah karya lukisan adalah keindahan yang menimbulkan decak kagum sehingga tidak jarang para kolektor sanggup mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit hanya untuk memiliki lukisan yang mencuri perhatiannya. Oleh karena itu, meskipun tidak memperhatikan nilai guna, karya seni lukis merupakan salah satu karya seni yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Sumber: http://bahanbelajarsekolah.blogspot.co.id/2015/01/jenis-aliran-atau-gaya-melukis.html
Content is Courtesy of bahanbelajarsekolah.blogspot.com

Melukis ternyata tak melulu harus dilakukan di kanvas, di kertas, dan media-media lain yang sudahumum digunakan. Hal tersebut sudah dibuktikan oleh seniman wanita yang berasal dari California. Seniman asal California itu sukses memukau publik dengan karya lukis yang "berkanvaskan" kaca. 



Loren Stump bisa dikatakan sebagai ahli murrine, seni lukisan kaca Italia kuno. Murrine merupakan istilah untuk lukisan dalam batang kaca panjang. Lukisan tersebut baru bisa dilihat jika batang kaca tersebut dipotong-potong. Sekilas, karya Loren itu mirip seperti permen roll yang sedang beken saat ini.
Langkah pertama yang dibutuhkan untuk karya ini adalah membuat gambar 2 dimensi. Lalu dihiasi dengan lapisan kaca berbagai warna, kemudian dipanaskan dan ditarik hingga menjadi sebuah tongkat.

Saat didinginkan, batang kaca ini bisa dipotong sesuai ketebalan yang diinginkan. Ketika dipotong itulah, kita bisa melihat hasil karya Loren yang memiliki detail sangat cantik.

Tak heran jika Loren disebut sebagai ahli. Rupanya, ia sudah mulai bereksperimen dengan murrine sejak berusia 14 tahun. Berawal dari hobi, saat ini Loren sudah mengembangkan murrine dengan berbagai jenis, seperti patung kaca, aksesoris, liontin dan lain sebagainya

Sumber: 
http://wardanashop.com/index.php?route=pavblog/blog&id=18
http://www.kompasiana.com/iiculyogya/melihat-perempuan-dalam-seni-rupa_54fffa03a33311bf6e50f844

Minggu, 20 Maret 2016

Kesenian Batik di Indonesia



Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

Zaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.

Zaman Penyebaran Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

Batik Solo dan Yogyakarta
            Kebudayaan Jawa dapat ditilik dari bahasanya, keseniannya, dan upacara-upacara tradisionalnya.
Kebudayaan Jawa yang hidup di Surakarta dan Yogyakarta merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di keraton.
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.
Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan raj any a Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.

Perkembangan Batik di Kota-kota lain
Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesa-inya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menet-ap didaerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning.
Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik didaerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina disamping mereka dagang bahan batik.
Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitara daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad ke-XIX. Perkembangan pembatikan didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.
Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kejasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya kedaerah baru itu dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk pencaharian.
Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat dari proses dan designya banyak dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.
Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-XIX dan bahwa yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.
Pada awal abad ke-XX sudah dikenal mori import dan obat-obat import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.
Demikian pila sejarah pembatikan di Purworejo bersamaan adanya dengan pembatikan di Kebumen yaitu berasal dari Yogyakarta sekitar abad ke-XI. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo dibandingkan dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya.
Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat Kebumen-Klaten yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten. Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak dikaki gunung tetapi tanahnya gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan Karesidenan Surakarta dan Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan disini sudah pasti erat hubungannya dengan sejarah kerajaan kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang ada pertilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam waktu-waktu tertentu yaitu “makam Sunan Bayat” di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan didesa Bayat ini sudah ada sejak zaman kerjaan dahulu. Pengusaha-pengusaha batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo.
Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah: PenghuluNusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah: pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.
Pemakaian obat-obat import di Kebumen dikenal sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia yang akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena menghemat waktu. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta. Daerah pembatikan di Kebumen ialah didesa: Watugarut, Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.
Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita yang turun-temurun dari terdahulu, maka diperkirakan didaerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman “Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum didapat disana yang berguna un-tuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih ada pembatikan dikerja-kan ialah: Wurug terkenal dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota.
Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak dipinggir kota Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-XVII dan awal abad ke-XVIII akibat dari peperangan antara kerajaan di Jawa Tengah, maka banyak dari penduduk daerah: Tegal, Pekalongan, Ba-nyumas dan Kudus yang merantau kedaerah Barat dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju kearah Barat sambil berdagang batik. Dengan datangnya penduduk baru ini, dikenallah selanjutnya pembutan baik memakai soga yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna.
Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-XIX setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap didaerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau dengan keluargany a dan ditempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan sebagainya.

Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna Garutan. Sampai awal-awal abad ke-XX pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik ada kaintannya dengan kerajaan yang ada di aerah ini, yaitu Kanoman, Kasepuahn dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon, kasusnya sama seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik muncul lingkungan kraton, dan dibawa keluar oleh abdi dalem yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman dulu senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang katun, lukisan itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu terjadi sekitar abad ke-XIII. Ini ada kaitannya dengan corak-corak batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan sebagaian besar bermotifkan gambar yang lambang hutan dan margasatwa. Sedangkan adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam pemikiran Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang bergambar garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo. (solobatik.athost.net)

Sumber:
Rustopo. 2007. Menjadi Jawa. Yogyakarta: Ombak.
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditindb/wpcontent/uploads/sites/12/2014/02/
membatik.jpg
http://www.resep.web.id/artikel/sejarah-batik-indonesia-hingga-diakui-unesco.htm