Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan
perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa.
Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa
kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal
sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan
raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik
rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau
awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal
abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau
sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak
daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian
Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan
perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain
untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia
zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan
hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena
banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini
dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat
terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah
tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya
pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik
wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil
tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari
tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon
mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta
garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Zaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan
Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah
daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal
nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan
batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan
pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan
Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari
rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat
bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati
Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang
dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon
dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka
petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal
diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga
membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di
Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah
di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang
dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun
sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan
sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang
dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap
dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat
di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar
Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai
pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis
Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut
lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis
kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu
pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul
lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto
adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih
dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari
seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga
mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro
tahun 1825.
Meskipun
pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai
menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman
kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto
dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial
Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari
pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang
bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa
Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang
kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri
(peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik
karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya
dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa
Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di
Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa
keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari
tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga
ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga
dan babarannya batik tulis.
Zaman Penyebaran Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya
adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di
daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat
hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu.
Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit
yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang
membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid
didaerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah
Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal
dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan
agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan
kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah
Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja
Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan
kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka
dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu
banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang
membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang
dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan
menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang
ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke
desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan,
Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu
obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari
kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan
kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import
bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah
perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari
Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan
nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari
Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik
di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang
dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya
yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal
seluruh Indonesia.
Batik Solo dan
Yogyakarta
Kebudayaan
Jawa dapat ditilik dari bahasanya, keseniannya, dan upacara-upacara
tradisionalnya.
Kebudayaan Jawa yang hidup di Surakarta dan Yogyakarta
merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di keraton.
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta
sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di
wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di
dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat
batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.
Batik
Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap
maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan
masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang
sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan
“Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta
dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan raj any a Panembahan Senopati.
Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu
terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita
pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga
kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara
resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan
kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari
rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga
kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari
tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik
antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak
keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara
lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan
sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu
menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18.
Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan
seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan
daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak
sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah
kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di
daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro
mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan
corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga
menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang
di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
Perkembangan Batik di
Kota-kota lain
Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah
Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesa-inya
peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menet-ap didaerah Banyumas.
Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan
batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat
pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah
kesemuan kuning.
Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat
Sokaraja dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik
didaerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak
dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas.
Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina
disamping mereka dagang bahan batik.
Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para
pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan
usaha batik di sekitara daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan
sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya
pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah
lainnya yaitu sekitar abad ke-XIX. Perkembangan pembatikan didaerah-daerah luar
selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah
kerajaan Yogya dan Solo.
Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah
berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah
kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kejasama dengan pemerintah
kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya kedaerah baru itu
dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi
pekerjaan untuk pencaharian.
Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula
dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat dari proses dan
designya banyak dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad ke-XX
proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan
dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal
pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan
Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di
Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal
sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan
yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini.
Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan
pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke
perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.
Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-XIX
dan bahwa yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari
tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri.
Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal
nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik
Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh
pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang
mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang lainnya
dari kota-kota batik Jawa Tengah.
Pada awal abad ke-XX sudah dikenal mori import dan
obat-obat import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha
batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari
Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan
kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut
lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua.
Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.
Demikian pila sejarah pembatikan di Purworejo
bersamaan adanya dengan pembatikan di Kebumen yaitu berasal dari Yogyakarta
sekitar abad ke-XI. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo dibandingkan
dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya sama pula dengan Yogya
dan daerah Banyumas lainnya.
Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat
Kebumen-Klaten yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten.
Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak dikaki gunung tetapi tanahnya
gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan Karesidenan Surakarta dan
Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan disini sudah pasti erat hubungannya
dengan sejarah kerajaan kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang
ada pertilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam waktu-waktu
tertentu yaitu “makam Sunan Bayat” di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan
didesa Bayat ini sudah ada sejak zaman kerjaan dahulu. Pengusaha-pengusaha
batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo.
Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal
abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah
Islam antara lain yang dikenal ialah: PenghuluNusjaf. Beliau inilah yang
mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur
Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses
batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan dan selanjutnya
proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-XX untuk
membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif
Kebumen ialah: pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang
dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.
Pemakaian obat-obat import di Kebumen dikenal
sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia yang
akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena menghemat waktu.
Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo
dari Yogyakarta. Daerah pembatikan di Kebumen ialah didesa: Watugarut,
Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.
Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada
sekarang dan cerita-cerita yang turun-temurun dari terdahulu, maka diperkirakan
didaerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman “Tarumanagara” dimana
peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum didapat disana yang
berguna un-tuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih
ada pembatikan dikerja-kan ialah: Wurug terkenal dengan batik kerajinannya,
Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota.
Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang
terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak dipinggir kota
Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-XVII dan awal abad ke-XVIII
akibat dari peperangan antara kerajaan di Jawa Tengah, maka banyak dari
penduduk daerah: Tegal, Pekalongan, Ba-nyumas dan Kudus yang merantau kedaerah
Barat dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini
adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju kearah Barat sambil
berdagang batik. Dengan datangnya penduduk baru ini, dikenallah selanjutnya
pembutan baik memakai soga yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya
sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas,
Kudus yang beraneka pola dan warna.
Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-XIX
setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro
banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke selatan. Sebagian ada yang
menetap didaerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke
selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau
dengan keluargany a dan ditempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan
tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam
pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama
kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya
pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk
kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti:
mengkudu, pohon tom, dan sebagainya.
Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik
Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna Garutan.
Sampai awal-awal abad ke-XX pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi
sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah
Cirebon batik ada kaintannya dengan kerajaan yang ada di aerah ini, yaitu
Kanoman, Kasepuahn dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon, kasusnya sama
seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik muncul lingkungan kraton, dan dibawa
keluar oleh abdi dalem yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman
dulu senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang katun, lukisan
itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu terjadi sekitar abad ke-XIII. Ini ada
kaitannya dengan corak-corak batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan
sebagaian besar bermotifkan gambar yang lambang hutan dan margasatwa. Sedangkan
adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam pemikiran Cina, dimana kesultanan
Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang
bergambar garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo.
(solobatik.athost.net)
Sumber:
Rustopo. 2007. Menjadi Jawa. Yogyakarta: Ombak.
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditindb/wpcontent/uploads/sites/12/2014/02/
membatik.jpg
http://www.resep.web.id/artikel/sejarah-batik-indonesia-hingga-diakui-unesco.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar